Selamat Datang di Blog Pribadi Lailan Syafira...

Saturday, October 29, 2011

Cerpen: Perempuan Berwajah Teduh dan Selembar Rindu


Perempuan Berwajah Teduh dan Selembar Rindu


lailansyafira.blogspot.com, book islamic, fiction books, fiction novels, islamic novel, Karya Sastra Terjemahan, novel islam, novels, published novel, story novelRasa penat menyelimuti tubuhku. Terang saja, hari ini aku total tidak memiliki waktu untuk beristirahat. Jangankan tidur, untuk duduk barang sejenak saja tidak bisa.  Hari ini, aku disibukkan dengan jadwal kuliah, latihan nasyid, mengajar, dan rapat organisasi. Kalau sudah begini, Ibu pasti bakalan ngomel karena melihat Aku pulang larut dan tentunya dalam keadaan lelah. Kulirik jam tangan monol yang baru dua hari diberikan oleh Ikhwan, adikku yang paling bontot sebagai hadiah ulang tahunku, yang menunjukkan pukul 17.00. Ah, adikku yang satu itu memang sangat perhatian sekali padaku. Sangat beda sikapnya dengan adikku yang kedua, Aini.
            Kurebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Hmmm, rasa nyaman menelusup dalam sukma dan menjalar sampai ke sarafku. Ku pejamkan mataku, namun itu hanya berlangsung sejenak, sebab baru lima menit kupejamkan mata, pintu kamarku diketuk.
            “Siapa?” Tanyaku.
            “Ikhwan, Kak.” Jawab yang mengetuk dari luar, yang tidak lain ternyata adikku, Ikhwan. Dengan perasaan malas, Aku bangkit dari tempat tidur dan membuka pintu. Ketika kubuka pintu, Ikhwan berdiri di depan pintu sambil memegang segelas jus jeruk dan puding.
            “Ini buat Kakak.” Kata Ikhwan sambil menyodorkan gelas berisi jus dan sepiring puding padaku. Dia sudah rapi dan wangi ternyata. Kuraih gelas dan piring dari tangan Ikhwan sambil mengunyek rambutnya sayang.
            “Terima kasih, ya adikku sayang.” Seruku, sebelum akhirnya dia beranjak pergi meninggalkanku. Kututup dan kukunci kembali pintu kamarku. Ku seruput jus jeruk segar dan kuambil sepotong puding. Nyam…, enak…
            Tidak sampai lima belas menit, jus dan puding sudah habis kulahap. Kurebahkan kembali tubuhku ke tempat tidur. Mataku menerawang memandang langit-langit kamarku yang berukuran 3x4. Entah karena angin apa, tiba-tiba saja pikiranku diajak untuk kembali kepada masa-masa ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Ah, banyak kenangan yang tertinggal jauh disana. Kenangan ketika aku dihukum karena tidak mengerjakan PR, dihukum karena kabur dari sekolah karena tidak membawa perlengkapan sholat, sering diminta untuk mewakili sekolah dalam perlombaan baca puisi, dan masih banyak lagi. Tapi dari semua kenangan itu, ada satu hal yang sangat kurindukan. Aku merindukan pertemuanku dengan perempuan pemilik senyum manis dan suara merdu itu. Aku sebut itu merdu bukan karena perempuan itu pandai bernyanyi, tapi karena tiap kali ia bicara, suaranya merdu dan alami lagi enak didengar. Dia adalah guru ngajiku, perempuan bereselendang bianglala yang sempat mengisi hari-hariku ketika aku masih duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Rini Sartika, itu nama perempuan berwajah teduh itu. Sudah lama aku tidak bertemu dengan Bu Rini. Terakhir aku bertemu dengannya ketika kami berpisah, tepatnya sehari setelah ia resmi disunting oleh seorang pria yang kutahu dari Bu Rini bernama Pak Iwan. Rasa yang aku tidak tahu entah apa namanya itu kembali merasuk dalam sukmaku. Apakah itu rindu? Ya, mungkin aku rindu pada Bu Rini.
***
“Hey, disini aja!” Seru Muni kepada kami semua sambil menunjuk sebuah ruangan yang dianggapnya aman untuk berganti pakaian. Seperti biasa, sepulang sekolah kami langsung lanjut sekolah mengaji, atau istilah sekolah kami dulu LP3B.
“Yuk, yuk, yuk!” Seru Diana, Aku, dan Nisa. Mereka adalah sahabat karibku sejak pertama kali aku menginjakkan kakiku di sekolah dasar ini. Sekolah yang katanya orang adalah sekolah anak-anak orang kaya dan terpandang di kota Medan. Dulu ketika masih SD, aku inggih-inggih saja menerima pernyataan itu, bahkan aku bangga. Tapi kalau sekarang aku mendengar pernyataan itu, aku rasa itu tidak benar.  Karena yang kutahu sekarang sekolahku itu hanya tampilan luarnya saja yang luar biasa, tapi jika dilihat dari dekat tidak ada apa-apanya.
“Kita makan siangya disini aja, ya! Nanti habis makan siang kita langsung ke kelas. Aku udah nggak sabar mau ketemu sama Bu Rini.” Kata Nisa
“Iya, aku juga nggak sabar. Bu Rini itu beda ya sama guru-guru kita yang lain. Udah cantik, baik, terus pakek jilbab pula.” Muni menimpali. Zaman aku masih SD dulu, guru yang pakai jilbab itu masih bisa dihitung dengan jari. Makanya, tiap ada guru yang pakai jilbab, kami langsung bilang kalau guru itu cantik dan baik hati.

“Ya udah, yuk cepat! Biar nanti kita nggak terlambat masuk kelas!” Kataku.
Usai berganti pakaian dan menghabiskan bekal makan siang, Aku dan ketiga sahabatku itu langsung bergegas menuju kelas. Sesampainya di kelas, Bu Rini sudah duduk manis diatas bangkunya sambil membaca sebuah buku yang aku tidak tahu apa judulnya. Buku itu cukup tebal dan judul besarnya bertulisan Arab. Masih ada waktu beberapa menit sebelum akhirnya kelas dimulai. Usai meletakkan tas, kami langsung menghambur kepada Bu Rini.
“Assalamualaikum, Bu!” Seru kami. Bu Rini tampak setengah kaget, namun sejurus kemudian Bu Rini tersenyum sambil membalas uluran tangan kami.
“Waalaikumussalam, Ananda.” Jawabnya. Ah, sebutan anananda itu pulalah yang membedakan Bu Rini dengan guruku yang lain, dan sebutan ananda itulah yang awalnya membuat aku sayang pada Bu Rini. Diana, Muni, dan Nisa kemudian keluar kelas setelah bersalaman dengan Bu Rini. Tapi aku tidak. Aku tetap berada di kelas. Aku ingin menemani Bu Rini, walaupun sebenarnya Bu Rini tidak perlu ditemani olehku, tapi aku ingin berada didekat Bu Rini.
            “Lala, sudah makan?” Tanya Bu Rini.
            “E…, sudah,Bu.” Jawabku.
            “Temani Ibu makan lagi, yuk!” Ajak Bu Rini. Sebenarnya aku canggu. Tapi karena Bu Rini memintaku untuk menemaninya, dengan senang hati aku tidak menolaknya. Ku tarik sebuah bangku dan kuletakkan bangku itu tepat disebelah bangku tempat Bu Rini duduk.
            “Lala mau Ibu suapin?” Tanya Bu Rini. Aku tidak menjawab, hanya memberikan isyarat dengan anggukan. Senang dan bahagia, itulah yang kurasakan ketika dengan tulusnya Bu Rini menyulangkan makanan ke mulut kecilku.
            “Lala tinggal dimana?”
            “Di Jalan Anggrek, Bu. Kalau Bu Rini tinggal di mana?”
            “Ibu tinggalnya di Jalan Pahlawan.”
            “Ooo. Kapan-kapan bolehkan Lala main ke rumah Bu Rini?”
            “Iya, Boleh, sayang! Nanti Bu Rini juga kalau ada waktu pasti main ke rumah Lala, Insya Allah”
            Tepat disulangan kelima, lonceng tanda masuk berbunyi. Saat Bu Rini menyulangkan sendok terakhir ke mulutku, Nisa, Diana, dan Muni datang. Tapi entah mengapa mendadak wajah mereka berubah seperti tidak suka padaku. Apa iya mereka cemburu karena aku disulang oleh Bu Rini? Entahlah.
Aku semakin dekat dengan guru LP3B itu. Hampir setiap hari, sebelum masuk kelas aku dan Bu Rini menghabiskan waktu untuk sekedar ngobrol, bercanda, makan siang, dan bercerita apa saja yang bisa dijadikan bahan ceritaan. Bu Rini juga sering mengajakku bermain teka-teki. Tapi seiring dekatnya aku dengan Bu Rini pula, ketiga sahabatku cemburu pada kedekatanku dengan Bu Rini. Pernah suatu ketika mereka mengatakan kalau aku ini anak emasnya Bu Rini dan aku telah merebut Bu Rini dari mereka. Tapi biarlah, lambat laun mereka pasti akan kembali lagi menjadi sahabatku seperti dulu.
Hari ini Bu Rini pakai baju biru, sesuai dengan warna permintaanku. Senyuman itu, senyuman tulus itu masih terus mengembang diranum bibir Bu Rini. Hari ini Bu Rini mengajarkan kami tentang menghormati orang yang lebih tua dan jangan melupakan jasa dari guru. Aku begitu antusias menyimak apa-apa yang dikatakan oleh Bu Rini.
“Misalnya, nanti kalau kalian sudah besar, kalau ketemu sama Ibu, Ibu pasti akan mengingat dan mengatakan, eh, inikan Lala yang ingusnya keluar masuk itu kan?” Semua murid tertawa mendengar cerita Bu Rini. Aku pun mau tak mau ikut tersenyum sipu mendengarnya. Bu Rini memang sering sekali memakai namaku jika membuat sebuah pemisalan. Terang saja karena itu semua anak di kelas iri dan tak suka padaku, terutama ketiga sahabatku.
***
            “Lala, ini ada kado kecil dari Ibu buat Lala.” Kata Bu Rini padaku. Hari itu, entah mengapa aku merasa Bu Rini tidak seperti biasanya. Bu Rini seperti hendak mengutarakan sesuatu padaku, dan aku tak tahu itu apa. Kuraih hadiah berbungkus kertas kado berwarna biru muda dengan motif boneka itu. Sejenak kemudian kulihat ada embun menitik disudut pipi Bu Rini.
            “Ibu kenapa? Kok nangis? Ibu sakit? Atau, Ibu marah sama Lala?” Tanyaku penasaran. Bu Rini hanya menjawab dengan gelengan sambil tangannya membelai lembut jilbabku.
            “Kadonya boleh Lala buka sekarang?”  Tanyaku lagi. Bu Rini hanya mengangguk. Tangan kecilku perlahan membuka bungkusan itu supaya kertas pembungkusnya tak rusak. Setelah semua bungkusnya terbuka, subhanallah, sebuah jilbab biru muda ternyata di dalamnya. Tanpa sadar, aku menangis. Menagis karena haru, menangis karena aku bahagia karena Allah telah mempertemukanku dengan perempuan berhati mulia seperti Bu Rini. Bu Rini kemudian menatapku sambil tersenyum dan lalu memelukku erat, sambil masih dengan linangan air mata. Aku masih tak tahu, sebab apa yang membuat Bu Rini sampai sesedih ini. Sejenak kemudian, Bu Rini melepaskan pelukannya.
            “Lala, mulai minggu depan Ibu tidak akan mengajar lagi di sekolah ini.”
Duaarr!! Kata-kata Bu Rini ibarat petir di siang bolong yang menyambar hatiku. Kontan, aku kaget. Dunia ini terasa seperti berhenti berputar. Aku tak percaya, baru sebulan Bu Rini mengisi hari-hariku di LP3B, dia sudah harus pergi meninggalkanku. Secepat ini?
“Ibu mau kemana?” Tanyaku setengah terisak.
“Hari Minggu ini, Ibu akan menikah,Nak.” Jawabnya. Tak biasanya Bu Rini memanggilku dengan sebutan “Nak”. Ada angin lembut yang menyelinap dalam hatiku kala itu, tapi hanya sesaat. Karena rasa sedih lebih besar dari rasa senang karena Bu Rini memangilku dengan sapaan itu.
“Ibu mau tinggalkan Lala? Ibu jangan pergi!” Pintaku. Kali ini tak lagi terisak, tapi aku menangis sejadi-jadinya dipelukan Bu Rini. Lama kami saling tangis dan peluk, sampai akhirnya Bu Rini melepaskan pelukannya dan menghapus air mataku dengan sapu tangannya.
“Lala, suatu saat Ibu yakin, kita pasti akan bertemu kembali. Bu Rini tidak akan pernah melupakan Lala. Bu Rini janji, suatu saat nanti Bu Rini akan datang ke rumah Lala. Jadi, Lala jangan sedih ya, sayang. Nanti cantiknya hilang lho!” Kata Bu Rini sambil menggodaku. Aku pun tersenyum sambil menghapus air mataku. Hari itu langit cerah, tetapi langit hatiku mendung. Diam-diam dalam hati aku berdoa agar Allah mempertemukan kembali aku dan Bu Rini.
“Nah, sekarang Lala tutup mata.” Pinta Bu Rini. Aku tak tahu apa yang hendak dilakukan Bu Rini, tapi aku menuruti perkataannya. Kututup mataku, namun baru lima menit aku menutup mataku, aku mendengar sebuah suara yang sangat tidak asing lagi di telingaku. Suara yang ketika pagi melengking hebat  membangunkanku, dan.. Nyes… aku merasakan titik air membasahi wajahku.
“Lala! Bangun! Sudah sore begini kamu masih tidur!” Suara lengkingan itu ternyata suara Ibu, dan titik air tadi ternyata Ibu yang menyipratkannya ke wajahku karena aku tidak mau bangun. Oh Robbi, ternyata yang tadi hanya mimpi. Betapa sedihnya aku karena mengetahui apa yang barusan terjadi hanya mimpi, tapi mimpi itu terasa begitu nyata. Ah…
***
Rembulan tersenyum mesra ditemani kerlipan bintang. Disana kutemukan senyum Bu Rini yang sampai hari ini masih kurindukan. Ah, kalau saja Bu Rini ada disini, kalau saja aku bisa bertemu dengannya setelah beberapa tahun lamanya, aku akan menumpahkan semua kerinduanku padanya. Pasti sekarang Bu Rini sudah punya anak yang ganteng seperti ayahnya, dan cantik rupawan seperti Bu Rini. Oh, Bu Rini, dimana gerangan Ibu sekarang. Aku Rindu dengan senyum dikulum yang dahulu sering ibu sunggingkan padaku, aku rindu suara merdumu, Bu Rini sayang.
            Tok.. tok… tok!! Suara pintu kamarku di ketuk.
            “Masuk aja, nggak dikunci.” Seruku.
            “Kak, ada tamu yang nyariin kakak!” Ternyata Ikhwan yang mengetuk pintu. Tamu? Tidak biasanya semalam ini ada tamu yang mencariku.
            “Siapa?” Tanyaku lagi.
            “Nggak tahu, Kak. Ibu-ibu sama anak dan suaminya.” Jawab Ikhwan lagi. Apa?! Ibu-ibu beserta anak dan suaminya?! Makin penasaran. Seingatku, aku tidak punya kenalan yang sudah punya anak. Kalau yang sudah menikah, temanku banyak yang sudah menikah, tapi belum punya anak. Rasa penasaran terus bergelayut dalam hatiku.


            “Bilang tunggu sebentar.” Jawabku kemudian.
Tak lama, aku pun keluar kamar menuju ruang tamu. Diruang tamu ada Ibu, Ayah, Ikhwan, dan tamu yang diceritakan Ikhwan padaku. Mereka duduk membelakangiku. Dua anak yang imut-imut itu, aku seperti menemukan wajah seseorang di wajah mereka. Tapi siapa ya??
“Nah, itu Lala, Bu!” Seru Ibuku kemudian ketika mengetahui aku telah berada di ruang tamu. Perempuan berjilbab biru muda yang sedari tadi duduk mebelakangiku kemudian memalingkan wajahnya sambil tersenyum padaku, dan… deg… betapa aku tak percaya dengan siapa yang kulihat di depanku.
“Bu Rini…” Kataku pelan. Seketika ku rasakan dunia gelap.




Medan, Juni 2011
Dalam hening malam...
Bersama rinduku padamu Bu Rini sayang...






Baca cerpen lainnya: 
Afifah dan Malam Berdarah di Pandan 
Koro Si Katak dan Tuan Gagak Penipu         

No comments:

Post a Comment